Daily Archives: December 18, 2012

Gedung Putih

yessicaolivia post on December 18th, 2012
Posted in Cerpen

Dihadapannya berdiri sebuah gedung putih yang lumayan megah. Seorang perempuan memandangi gedung itu sebentar, lalu melangkah masuk. Dia segera menuju lift, ditekannya tombol naik.

 

2 menit berselang, pintu lift terbuka. Perempuan itu masuk, menekan angka 4. Lift berjalan naik, kemudian pintu terbuka kembali. Perempuan itu keluar, melongokkan wajah, seperti sedang mencari-cari petunjuk. Tertera di petunjuk, kamar 404 di sebelah kanan. Lantas, perempuan itu jalan ke arah kanan lalu ditemukannya kamar nomor 404.

 

Perempuan itu masuk.

 

Dilihatnya seorang laki-laki yang sudah lanjut usia sedang terbaring lemas di ranjang putih. Orang tua itu melihatnya, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian terbatuk-batuk. Segera seorang yang berseragam putih disebelahnya beranjak berdiri, mengambil tissue dan menadahkannya di bawah mulut orang tua tersebut. Orang tua itu meludahkan riak, lalu terengah-engah. Lalu perlahan, napasnya kembali teratur.

 

Perempuan itu hanya bergeming di tempatnya. Bingung harus berbuat apa. Yang dilakukan hanya berdiri di sebelahnya, berjaga-jaga.

 

Lalu, orang tua itu seperti berusaha mengatakan sesuatu yang belum tersampaikan tadi, perempuan itu sigap, langsung mencondongkan telinganya di dekat mulut orang tua itu. Suara yang diucapkan sangat lirih, terdengar nada cemas didalamnya. Samar-samar, perempuan itu mendengar kata yang diucapkan. Perempuan itu terkesiap, segera menjawab dengan suara tinggi, terdapat nada marah sekaligus sedih, “Sudah dibilang Papa gak perlu khawatir. Papa gak perlu mikir soal biaya. Semua sudah beres, Papa. Papa harus berusaha supaya cepat sembuh, bukannya malah kepikiran soal uang, tapi Papa harus optimis supaya segera keluar dari sini jadi gak perlu bayar sewa kamar lagi. Uang bisa dicari lagi, Papa. Papa gak usah khawatir”.

 

Orang tua itu hendak menyanggahnya, tapi kemudian mengalah dan menganggukkan kepala. Tubuhnya terasa lemas, sehingga tak ada tenaga untuk berdebat. Perempuan itu juga agaknya menyesali nada tingginya, lalu duduk terdiam.

 

***

 

Tak lama kemudian, beberapa rombongan keluarga datang, suasana jadi ramai. Orang tua itu mendapat banyak semangat, dan dibuatnya senang dengan kehadiran banyak orang. Mereka saling bertukar cerita, bercerita tentang kehidupan keluarga masing-masing, tentang kehidupan masing-masing anak-anaknya, dan cerita tentang pekerjaan masing-masing.

 

Perempuan itu hanya sanggup mendengarkan keluarga-keluarga tersebut bercakap-cakap, saling bersahutan satu sama lain. Mereka semua adalah saudara perempuan itu, tapi hanya perempuan itu sendiri yang lahir di lain rahim. Perempuan itu tidak tersinggung dengan keramaian yang tidak melibatkan dirinya sedikitpun, karena ia sudah terbiasa dengan suasana seperti ini – menjadi pendengar setia yang tak pernah dirasakan keberadaannya.

 

Beberapa waktu kemudian, perempuan itu pergi keluar dari ruangan itu sebentar, ingin berjalan-jalan setelah sekian lama duduk berjaga. Perempuan itu keluar, lalu mengamati sekelilingnya. Dilihatnya ada seorang pria setengah baya sedang duduk di depan ruang operasi, tangannya sedang menutupi kepalanya yang sedang tertunduk. Perempuan itu mengamati laki-laki tersebut seperti sedang berbicara, bibirnya mengatup-ngatup, mengerti bahwa bibir itu membentuk ujaran doa yang tiada hentinya.

 

Lalu tiba-tiba terdengar suara ambulans datang, seorang sakit lainnya diturunkan dari mobil, dan segera dibawa menuju ruang UGD. Perempuan itu melihat ranjang beroda itu melintas di hadapannya, ada seorang laki-laki berusia sekitar 28 tahun, mengejang-ngejang, berlumuran darah. Separuh wajah itu rusak, kepala itu hancur, laki-laki itu terus mengejang, terbatuk-batuk, memuntahkan darah. Segera perempuan itu memalingkan wajahnya, ia tak tahan melihatnya. Kontan saja mendadak, sekujur tubuhnya merinding ngeri.

 

Perempuan itu segera beralih, melangkahkan kakinya ke tempat yang lain. Ada seorang dokter sedang berbicara serius dengan seorang wanita di depan sebuah kamar. Tiga orang suster sedang lari terburu-buru menuju sebuah kamar pasien. Seorang bapak sedang tertunduk lemas mengamati selembar kertas yang disodorkan dari meja administrasi. Seorang ibu tua dengan pakaiannya yang lusuh, lari menerobos pintu masuk, menggendong anaknya yang sedang tak sadarkan diri.

 

Perempuan itu bergeming. Ia paling benci tempat ini. Tempat dimana ribuan nyawa terselamatkan, tapi juga sekaligus tempat dimana ribuan nyawa melayang. Lalu perempuan itu membalikkan badan, ingin kembali ke kamar. Seorang wanita berumur sedang meraung-raung, menjerit histeris, dan menangis sejadi-jadinya di depan ruang UGD. Seorang laki-laki yang seumuran dengan wanita itu berdiri di sampingnya, memeluk wanita itu, dan menangis dalam diam. Dokter dihadapannya tertunduk lemas, raut wajahnya terlihat letih dan menyesal. Dokter itu mendekati pasangan suami istri itu, seperti sedang menyampaikan sesuatu, lalu sang suami mengangguk, kemudian dokter itu melangkah pergi. Sang istri berteriak lebih histeris seperti orang gila, memanggil dan menyumpahi nama dokter itu berulang kali. Sang suami menahan sang istri untuk menyusul dokter itu, hanya bisa mendekapnya dalam pelukan, mencoba menenangkannya. Tak diduga, sang istri tiba-tiba terkulai lemas dan tak sadarkan diri. Laki-laki itu segera panik, dipanggilnya suster yang ada di dekatnya, lalu digendongnya istri itu menuju kamar yang ditunjuk oleh suster itu.

 

Suasana menjadi hening. Perempuan itu kembali kedalam kesadarannya. Ternyata, orang-orang disekitarnya pun juga mengamati pasangan suami istri itu tadi, lalu mereka tersadar dan kembali ke kegiatannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, aktivitas berjalan kembali.

 

***

 

Perempuan itu menghela nafas, mengerti bahwa laki-laki yang dibawa ambulans tadi telah tiada. Kedua orang tuanya sudah hadir, dan ibunya tak kuasa menerima kenyataan, hingga akhirnya pingsan. Suasana duka menjalar dalam dirinya. Meski tak mengenal siapa laki-laki itu, perempuan itu merasakan perasaan sendu, dan perasaan kelam mengingat sang ibu menjerit-jerit tadi. Bayangan ingatan yang tiba-tiba terputar ulang di otaknya, terlintas bayangan lumuran darah, separuh wajah rusak itu. Perempuan itu tahu bahwa laki-laki itu tampan dan dari keluarga berada, melihat pakaian yang dikenakannya. Lalu dilihatnya kembali bayangan sang ibu meraung menangis, tubuhnya tak sakit fisik sedikitpun, tapi apa yang ada di dalam dirinya telah hancur berkeping-keping, tak ada yang tahu persis bagaimana luar biasanya rasa sakit itu, rasa sakit yang membuat pemiliknya langsung mati seketika meski raganya masih ada. Hilangnya cinta, hilangnya harapan, hilangnya orang yang dikasihi seumur hidupnya, mengkosongkan seluruh jiwanya dalam sekejap.

 

Tak ayal, perempuan itu turut meneteskan air mata.

 

Kaki perempuan itu membawa perempuan itu kembali ke kamar. Sebelum membuka pintu kamar, perempuan itu menghapus air matanya, menghela nafas sebentar, lalu memantapkan diri masuk ke dalam kamar. Suasana ramai masih sama seperti sebelum perempuan itu meninggalkan ruangan itu, kemudian ia berjalan masuk, duduk di tempat yang ditinggalkannya tadi. Beberapa memperhatikan kedatangannya, hanya melihatnya sebentar, lalu mereka kembali ke dalam topik yang sedang ramai dibicarakan. Perempuan itu melihat wajah orang tua yang sedang terbaring itu, seulas senyum terukir di wajah orang tua itu yang sedang memperhatikan dengan seksama wajah anak-cucunya satu per satu dihadapannya. Perempuan itu pun tersenyum, puas melihat ekspresi wajah dari orang tua itu.

 

Perempuan itu membatin dalam dirinya sendiri, “Cepat sembuh, Pa. Kami semua sayang Papa.

  • Facebook
  • LinkedIn
  • Twitter