Author Archive

After Earth (2013)

“Moderate film, not too bad, but not a great movie though.” –Yessica Olivia 

Film ini diSUTRADARAi oleh M. Night Shyamalan, dengan genre film action dan adventure. PEMAIN UTAMA adalah ayah-anak kandung Will Smith (sebagai Cypher Raige) dan Jaden Smith (sebagai Kitai Raige) yang juga berperan sebagai ayah-anak dalam film ini.

 

Sedikit sinopsis: A crash landing leaves Kitai Raige and his father Cypher stranded on

Read the rest of this entry >>

Now You See Me (2013)

“Amazing, creative, and most of them, really entertain the audiences.” –Yessica Olivia

Sejak awal nonton trailer film ini waktu lagi nonton film star trek kalo gak salah, sudah jadi incaran saya buat nonton film satu ini. Trailernya sungguh menarik, dan ide cerita film ini masih tergolong ‘fresh’ bagi saya, dimana sang pembuat cerita menyajikan sulap sebagai main idea dari film ini. Sejauh yang saya ingat, film yang bertema magicyang pernah saya tonton sebelum ini adalah the illusionist, yang juga merupakan film yang keren bagi saya.

 

“An FBI agent and an Interpol detective track a team of illusionists who pull off bank heists during their performances and reward their audiences with the money.” (quote dari IMDb)

 

Film ini diSUTRADARAi oleh Louis Leterrier dengan PRODUCTION COMPANY

Read the rest of this entry >>

3 idiots (2009)

“Really great movie!! Must recommended watch!” – Yessica Olivia

3 idiots, mengisahkan tiga orang pelajar yang kuliah bidang insinyur di universitas terbaik India. Dari ketiga orang sahabat ini, ada satu dari antara mereka mampu mengubah hidup mereka. Dia mengajarkan bagaimana kita sebenarnya mampu “memilih” jalan hidup kita sendiri, apa yang kita cintai dan apa yang kita berani untuk perjuangkan. Dia membawa kedua temannya untuk menyadari bagaimana seharusnya menjalani hidup ini. Bagaimana berani untuk keluar dari kotak yang selama ini mengurung kita, entah karena tekanan dari keluarga ataupun masyarakat sekitar. Sangat-sangat menginspirasi!!

 

Malam weekend kemarin, karena lagi nganggur, saya pun mengisi

Read the rest of this entry >>

Seandainya

yessicaolivia post on May 18th, 2013
Posted in Cerpen

Sekumpulan orang berkumpul dalam satu ruangan. Usia mereka beragam, ada yang sudah memiliki cucu, juga ada yang masih berumur 18. Mereka semua berkumpul karena satu kesamaan, yakni memiliki rasa cinta yang sama, meski mereka tidak memiliki sedikitpun kesamaan darah.

 

Ada seorang perempuan muda juga ada di dalam ruangan itu. Umurnya sekitar 20 tahunan. Wajahnya mungil dan kulitnya kecoklatan. Gadis itu tak henti-hentinya melirik seseorang yang menarik perhatiannya sejak ia datang. Seorang pria berkulit putih, murah senyum, dan pintar. Hal ini ia ketahui karena meski pria itu termasuk jajaran anak muda, ia dihormati oleh para ibu-ibu dan bapak-bapak senior lainnya. Gadis itu terkesima dengan pria itu, kuatnya rasa tertariknya itu seakan-akan membuat siapapun tahu bahwa gadis itu menyukai pria itu.

 

Setahun berselang, gadis itu masih rajin mengikuti klub tersebut. Salah satu tujuannya tentu karena ingin melihat pria itu. Namun, kabar terakhirnya, 3 bulan yang lalu pria itu putus cinta dan baru saja ia menemukan penggantinya. Dengan hanya memiliki harapan akan cinta bertepuk sebelah tangan, pikiran gadis itu melayang sambil melihat tawa bahagia dari pria yang ada di hadapannya saat ini.

 

Gadis itu membayangkan akan melihat tawa bahagia yang sama itu saat ada di pesta pernikahan pria itu. Bersama perempuan lain. Gadis itu membayangkan, bagaimana rasanya diundang dan hadir dalam pesta pernikahan seseorang yang selama ini ia hanya bisa lihat dari kejauhan, yang selama ini ia hanya bisa simpan dalam hatinya sendiri. Bagaimana rasanya melihat pria yang dicintainya mengikat janji setia dengan perempuan yang bukan dirinya, tertawa bahagia karena perempuan itu, yang bukan dirinya. Bagaimana rasanya melihat pria tampan itu berdiri di atas panggung pelaminan, menggandeng perempuan lain, dan menciumnya di depan tamu undangan, termasuk dirinya.

 

Bagaimana rasanya melihat itu semua dengan mata kepalanya sendiri?

 

Gadis itu hanya tersenyum miris, membayangkannya saja ia sudah tidak tahu akan berbuat apa. Gadis itu berpikir, tentu ia juga akan bahagia jika pria itu akhirnya menemukan pendamping pilihannya. Tapi, apakah itu benar? Ataukah hanya kata-kata klise, sebuah kebohongan semata? Karena perasaan tak pernah bohong atas rasa sakit yang muncul. Luka itu tak akan berkompromi dengan akal sehat. Apa yang dirasakan oleh hati, mencerminkan perasaan yang sesungguhnya dari gadis itu. Tak ada kata bahagia ketika seseorang yang amat dicintai bahagia bersama orang lain. Hatinya sedih, karena bukan dirinyalah yang bisa membuat pria itu bahagia. Itu egonya.

 

Pria itu tiba-tiba menoleh ke arah gadis itu, sepertinya ia merasa diperhatikan. Gadis itu kaget melihat wajahnya terpantul dalam mata pria itu, lalu meleleh melihat senyum yang tersungging di wajah pria itu.

 

Ah, seandainya……….

Pesona

yessicaolivia post on March 8th, 2013
Posted in Cerpen

Pesta pernikahan.

 

Tamu-tamu berlomba-lomba untuk memamerkan baju terbaiknya. Para laki-laki memakai jas terbaiknya, para perempuan memakai gaun dan make up terbaiknya. Semua ingin tampil memukau di ajang paling membahagiakan ini. Baik yang tua maupun muda, semuanya ada di sini, makan bersama, bersenda-gurau, bersenang senang.

 

Diantara gelap gempita pesta pernikahan yang amat megah, berdiri seorang gadis yang amat mempesona. Dia memakai dress sederhana berwarna ungu, rambut panjang hitamnya dibiarkan terurai rapi. Dia tak begitu cantik, tapi ia memiliki wajah yang manis, ada dua lekukan di pipinya ketika ia tersenyum. Wajah manisnya yang terlihat sangat polos dan murni, membuat ia menjadi gadis yang menarik. Gadis itu tidak memakai make up yang mencolok, sebagai gantinya, dia hanya memakai bedak tipis dan lipstik. Jika para wanita memakai high heels, dia hanya memakai flat shoes polos untuk menghiasi kakinya. Sungguh penampilan yang amat sederhana di sebuah pesta megah seperti ini. Namun bukan cara berpakaiannya yang simple dan sederhana membuat dia tampil memukau, tapi saat ketika seseorang melihatnya berbicara.

 

Mulut gadis itu bergerak-gerak komat-kamit, tapi tak ada suara yang keluar dari mulut itu. Dia sedang bercakap-cakap dengan teman gadis yang juga sebaya dengannya, dengan sangat antusias mengerak-gerakkan tangan dan tubuhnya dengan ekspresi bahagia, dan dalam seketika, mampu membuat teman yang dihadapannya tertawa terbahak-bahak. Seseorang yang melihatnya tak mengerti cerita lucu apa yang diceritakan gadis itu, tapi ia mengerti sesuatu, yang tiba-tiba menghujam benaknya.

 

Bukan rasa kasian yang timbul sesudah ia tahu apa kekurangan gadis itu, namun justru sebaliknya. Seseorang merasa terharu, terpukau dengan pemandangan yang baru saja dilihatnya, merasa tiba-tiba ada suatu perasaan membumbung di dalam benaknya, seperti ketika ia sedang jatuh cinta. Ia mengagumi gadis itu, yang seketika membuat gadis itu terlihat semakin cantik, semakin cantik, dan semakin cantik. Gadis itu benar-benar terlihat sangat cantik, dan seseorang itu tak kunjung bisa melepaskan pandangannya terhadap gadis yang sedang tersenyum bahagia itu. Ia juga tak mengerti mengapa dan bagaimana ia mengagumi gadis itu, tapi satu hal yang ia tahu : semua manusia di muka bumi ini dalam seluruh kekurangan yang dimilikinya, pasti memiliki kecantikkannya masing-masing. Kecantikkan di dalam diri yang akan terpancar keluar, membuat siapapun disekelilingnya akan terpukau karenanya.

Gedung putih 2

yessicaolivia post on January 24th, 2013
Posted in Cerpen

“Sus, gimana kondisinya? Tadi pihak rumah sakit telpon saya untuk penambahan albumin, saya tadi langsung konfirmasi setuju dan mohon segera diproses. Apa sudah Sus?”

 

“Benar Bu. Barusan sudah diberi albumin ya. Ibu tolong tanda tangan disini……”

 

Ibu itu langsung menandatanganinya, lalu segera menyerahkan ke suster. Pandangan ibu itu penuh banyak tanya, ingin mengetahui penjelasan yang lebih lanjut dari suster itu, namun tak tahu darimana harus mulai bertanya. Rasanya ingin segera menengok masuk ke dalam, melihatnya dengan mata kepala sendiri, bagaimana kondisinya saat ini. Perasaan ibu ini sungguh tak keruan, seluruh kecemasan dan kekhawatiran menyelimuti dirinya.

 

“Sus, maksudnya diberi albumin ini kenapa Sus?” tanya ibu itu.

“Pasien kekurangan albumin. Apa beliau sulit makan sebelumnya?”

“Memang kemarin pasien cuma bisa makan sedikit, Sus. Tidak nafsu makan katanya”

“Ohhh, bukan karena sehari-dua hari. Ini bisa terjadi karena penumpukkan dalam seminggu-dua minggu terakhir.”

“Lho, kalau hari sebelum-sebelumnya makannya banyak kok Sus, cuma kemarin saja yang sedikit” jelas sang ibu.

“Wah, kalau begitu mungkin karena sebelumnya sudah kekurangan Bu, dan karena baru masuk ICU hari ini, jadi baru di cek kondisi pasien seluruhnya….”

“Tapi tak perlu khawatir Bu, hanya sedikit kekurangannya. Manusia normal harusnya memiliki kandungan albumin di 3,5. Ini pasien di angka 3,2. Hanya sedikit kurangnya,” lanjut suster itu menjelaskan.

 

Agaknya penjelasan itu sudah sedikit banyak melegakan ibu itu. Perasaan cemas pun sudah berkurang banyak. Tapi tetap saja, ada perasaan yang masih mengganggu ibu itu.

 

“Ya Ibu, ada yang bisa saya bantu lagi?” tanya sang suster, melihat ibu itu sepertinya belum ingin beranjak dari depan ruang ICU.

“Anu, Sus…, saya bisa lihat?” tanya ibu itu sambil menunjuk masuk ke dalam ruang ICU.

“Tunggu sebentar ya Ibu. Limabelas menit lagi jam 5, jam besuk diizinkan.”

“Baik Sus, terimakasih, terimakasih…”.

 

Lima belasmenit menunggu. Lalu jam besuk dibuka. Seluruh korden jendela dibuka, agar para pembesuk dapat melihat dari kaca. Atau jika ingin masuk, harus bergantian satu persatu, dan para pembesuk diwajibkan memakai baju dari rumah sakit. Ibu itu langsung masuk, terburu-buru memakai seragam rumah sakit.

***

 

Dilihatnya seorang lelaki tua terbaring amat sangat lemah, kali ini ada selang dimulutnya. Pagi subuh tadi, sekitar jam 3, rumah sakit menelpon bahwa pasien mendadak sesak. Pasien melolong kesakitan kepada suster yang menjaga, meminta dokter untuk segera datang. Pasokan oksigen berkurang drastis, paru-paru pasien hanya mampu menghirup 50% oksigen. Pihak keluarga segera ditelpon dan ditanya, apa bersedia menggunakan selang yang dimasukkan ke paru-paru melalui mulutnya. Fungsi selang ini akan menghantar oksigen langsung masuk ke paru-paru, sehingga akan menambah pasokan oksigen untuk pernafasan. Selain sudah tak mungkin pasien bisa bicara lagi karena selang tersebut masuk melewati pita suara, tentu saja memasukkan selang lewat kerongkongan akan sangat menyakitkan bagi pasien. Tapi tak ada pilihan lain yang bisa dipilih. Biaya sebesar 35 juta rupiah untuk pemasangan alat dan 10 juta per hari kedepannya untuk biaya sewa dan obat pun ditandatangani tanpa pikir panjang. Dengan segera, pasien dipindahkan ke ruang ICU.

 

Dan sekarang dihadapannya, laki-laki tua tersebut sedang membuka matanya, seperti sedang menerawang, antara sadar dan tidak. Selain selang yang ada di mulutnya, disekelilingnya ada obat infus yang menjalar masuk ke tangan pasien, lalu ada alat pemantau kondisi, bentuknya seperti monitor komputer PC zaman dulu. Dilihatnya ada gambar garis detak jantung, tekanan darah, lalu di bagian bawah layar ada gambar paru-paru dengan angka merah, menunjukkan angka antara 29-32. Ibu itu melihat pasien lain disebelahnya, ada monitor yang sama, namun bagian bawah layar bergambar paru-paru itu menunjukkan angka 18-20, dan berwarna hijau. Meski Ibu itu tak begitu mengerti pembacaan alat medis, namun Ibu itu kurang lebih memahami kondisi mana yang parah.

 

Setelah melihat sekilas sekelilingnya, Ibu tersebut kembali menatap pasien, lalu menyapanya dengan lirih, “Pa, ini In.”

 

Laki-laki tua itu menyadari suara itu, lalu menoleh menghadapnya. Seperti ingin berbicara namun tak bisa, ibu itu langsung memotong “Pa, jangan bicara. Sudah, jangan bicara.” Laki-laki tua itu lalu menghentikan usahanya, mengangguk lemas, lalu memejamkan matanya.

 

Ibu itu langsung banjir air mata, tak kuasa melihat ayahnya tak berdaya seperti itu. Tak bisa bangun juga tak boleh banyak bergerak, dan bahkan tak bisa bicara. Yg bisa dilakukan laki-laki tua itu hanya membuka matanya, melirik sana sini, dan tidur. Makanpun juga sudah tidak bisa, asupan gizi diperoleh dari selang infus. Jika ingin buang air kecil atau besar, langsung buang air di ranjang, dimana nanti dibawahnya ada bak khusus untuk menampung kotorannya.

 

Karena Ibu itu tak ingin ayahnya melihat linangan air mata yang makin lama makin deras, ia segera keluar, lalu menangis sejadi-jadinya di ruang tunggu, berkata sambil terisak, “kasian Papa. Papa tersiksa. Mau bicara, tapi tak bisa. Mulutnya menganga karena ada selang dimulutnya, hanya bisa membuka mata, dan menerawang……. Kasian Papa…. Papa tersiksa….” diulanginya dua kalimat terakhir itu untuk kesekian kalinya, dan ibu itu tak berhenti menangis.

 

35 menit berselang, keempat saudaranya datang. Mereka satu persatu masuk bergantian, dan keluar sambil merengut, bergumam lirih, “bagaimana ini….bagaimana ini…”

 

Setelah jam besuk usai, mereka lalu membuat lingkaran kecil. Bersama, mereka berdoa mengharap kesembuhan papa tercinta…

Gedung Putih

yessicaolivia post on December 18th, 2012
Posted in Cerpen

Dihadapannya berdiri sebuah gedung putih yang lumayan megah. Seorang perempuan memandangi gedung itu sebentar, lalu melangkah masuk. Dia segera menuju lift, ditekannya tombol naik.

 

2 menit berselang, pintu lift terbuka. Perempuan itu masuk, menekan angka 4. Lift berjalan naik, kemudian pintu terbuka kembali. Perempuan itu keluar, melongokkan wajah, seperti sedang mencari-cari petunjuk. Tertera di petunjuk, kamar 404 di sebelah kanan. Lantas, perempuan itu jalan ke arah kanan lalu ditemukannya kamar nomor 404.

 

Perempuan itu masuk.

 

Dilihatnya seorang laki-laki yang sudah lanjut usia sedang terbaring lemas di ranjang putih. Orang tua itu melihatnya, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian terbatuk-batuk. Segera seorang yang berseragam putih disebelahnya beranjak berdiri, mengambil tissue dan menadahkannya di bawah mulut orang tua tersebut. Orang tua itu meludahkan riak, lalu terengah-engah. Lalu perlahan, napasnya kembali teratur.

 

Perempuan itu hanya bergeming di tempatnya. Bingung harus berbuat apa. Yang dilakukan hanya berdiri di sebelahnya, berjaga-jaga.

 

Lalu, orang tua itu seperti berusaha mengatakan sesuatu yang belum tersampaikan tadi, perempuan itu sigap, langsung mencondongkan telinganya di dekat mulut orang tua itu. Suara yang diucapkan sangat lirih, terdengar nada cemas didalamnya. Samar-samar, perempuan itu mendengar kata yang diucapkan. Perempuan itu terkesiap, segera menjawab dengan suara tinggi, terdapat nada marah sekaligus sedih, “Sudah dibilang Papa gak perlu khawatir. Papa gak perlu mikir soal biaya. Semua sudah beres, Papa. Papa harus berusaha supaya cepat sembuh, bukannya malah kepikiran soal uang, tapi Papa harus optimis supaya segera keluar dari sini jadi gak perlu bayar sewa kamar lagi. Uang bisa dicari lagi, Papa. Papa gak usah khawatir”.

 

Orang tua itu hendak menyanggahnya, tapi kemudian mengalah dan menganggukkan kepala. Tubuhnya terasa lemas, sehingga tak ada tenaga untuk berdebat. Perempuan itu juga agaknya menyesali nada tingginya, lalu duduk terdiam.

 

***

 

Tak lama kemudian, beberapa rombongan keluarga datang, suasana jadi ramai. Orang tua itu mendapat banyak semangat, dan dibuatnya senang dengan kehadiran banyak orang. Mereka saling bertukar cerita, bercerita tentang kehidupan keluarga masing-masing, tentang kehidupan masing-masing anak-anaknya, dan cerita tentang pekerjaan masing-masing.

 

Perempuan itu hanya sanggup mendengarkan keluarga-keluarga tersebut bercakap-cakap, saling bersahutan satu sama lain. Mereka semua adalah saudara perempuan itu, tapi hanya perempuan itu sendiri yang lahir di lain rahim. Perempuan itu tidak tersinggung dengan keramaian yang tidak melibatkan dirinya sedikitpun, karena ia sudah terbiasa dengan suasana seperti ini – menjadi pendengar setia yang tak pernah dirasakan keberadaannya.

 

Beberapa waktu kemudian, perempuan itu pergi keluar dari ruangan itu sebentar, ingin berjalan-jalan setelah sekian lama duduk berjaga. Perempuan itu keluar, lalu mengamati sekelilingnya. Dilihatnya ada seorang pria setengah baya sedang duduk di depan ruang operasi, tangannya sedang menutupi kepalanya yang sedang tertunduk. Perempuan itu mengamati laki-laki tersebut seperti sedang berbicara, bibirnya mengatup-ngatup, mengerti bahwa bibir itu membentuk ujaran doa yang tiada hentinya.

 

Lalu tiba-tiba terdengar suara ambulans datang, seorang sakit lainnya diturunkan dari mobil, dan segera dibawa menuju ruang UGD. Perempuan itu melihat ranjang beroda itu melintas di hadapannya, ada seorang laki-laki berusia sekitar 28 tahun, mengejang-ngejang, berlumuran darah. Separuh wajah itu rusak, kepala itu hancur, laki-laki itu terus mengejang, terbatuk-batuk, memuntahkan darah. Segera perempuan itu memalingkan wajahnya, ia tak tahan melihatnya. Kontan saja mendadak, sekujur tubuhnya merinding ngeri.

 

Perempuan itu segera beralih, melangkahkan kakinya ke tempat yang lain. Ada seorang dokter sedang berbicara serius dengan seorang wanita di depan sebuah kamar. Tiga orang suster sedang lari terburu-buru menuju sebuah kamar pasien. Seorang bapak sedang tertunduk lemas mengamati selembar kertas yang disodorkan dari meja administrasi. Seorang ibu tua dengan pakaiannya yang lusuh, lari menerobos pintu masuk, menggendong anaknya yang sedang tak sadarkan diri.

 

Perempuan itu bergeming. Ia paling benci tempat ini. Tempat dimana ribuan nyawa terselamatkan, tapi juga sekaligus tempat dimana ribuan nyawa melayang. Lalu perempuan itu membalikkan badan, ingin kembali ke kamar. Seorang wanita berumur sedang meraung-raung, menjerit histeris, dan menangis sejadi-jadinya di depan ruang UGD. Seorang laki-laki yang seumuran dengan wanita itu berdiri di sampingnya, memeluk wanita itu, dan menangis dalam diam. Dokter dihadapannya tertunduk lemas, raut wajahnya terlihat letih dan menyesal. Dokter itu mendekati pasangan suami istri itu, seperti sedang menyampaikan sesuatu, lalu sang suami mengangguk, kemudian dokter itu melangkah pergi. Sang istri berteriak lebih histeris seperti orang gila, memanggil dan menyumpahi nama dokter itu berulang kali. Sang suami menahan sang istri untuk menyusul dokter itu, hanya bisa mendekapnya dalam pelukan, mencoba menenangkannya. Tak diduga, sang istri tiba-tiba terkulai lemas dan tak sadarkan diri. Laki-laki itu segera panik, dipanggilnya suster yang ada di dekatnya, lalu digendongnya istri itu menuju kamar yang ditunjuk oleh suster itu.

 

Suasana menjadi hening. Perempuan itu kembali kedalam kesadarannya. Ternyata, orang-orang disekitarnya pun juga mengamati pasangan suami istri itu tadi, lalu mereka tersadar dan kembali ke kegiatannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, aktivitas berjalan kembali.

 

***

 

Perempuan itu menghela nafas, mengerti bahwa laki-laki yang dibawa ambulans tadi telah tiada. Kedua orang tuanya sudah hadir, dan ibunya tak kuasa menerima kenyataan, hingga akhirnya pingsan. Suasana duka menjalar dalam dirinya. Meski tak mengenal siapa laki-laki itu, perempuan itu merasakan perasaan sendu, dan perasaan kelam mengingat sang ibu menjerit-jerit tadi. Bayangan ingatan yang tiba-tiba terputar ulang di otaknya, terlintas bayangan lumuran darah, separuh wajah rusak itu. Perempuan itu tahu bahwa laki-laki itu tampan dan dari keluarga berada, melihat pakaian yang dikenakannya. Lalu dilihatnya kembali bayangan sang ibu meraung menangis, tubuhnya tak sakit fisik sedikitpun, tapi apa yang ada di dalam dirinya telah hancur berkeping-keping, tak ada yang tahu persis bagaimana luar biasanya rasa sakit itu, rasa sakit yang membuat pemiliknya langsung mati seketika meski raganya masih ada. Hilangnya cinta, hilangnya harapan, hilangnya orang yang dikasihi seumur hidupnya, mengkosongkan seluruh jiwanya dalam sekejap.

 

Tak ayal, perempuan itu turut meneteskan air mata.

 

Kaki perempuan itu membawa perempuan itu kembali ke kamar. Sebelum membuka pintu kamar, perempuan itu menghapus air matanya, menghela nafas sebentar, lalu memantapkan diri masuk ke dalam kamar. Suasana ramai masih sama seperti sebelum perempuan itu meninggalkan ruangan itu, kemudian ia berjalan masuk, duduk di tempat yang ditinggalkannya tadi. Beberapa memperhatikan kedatangannya, hanya melihatnya sebentar, lalu mereka kembali ke dalam topik yang sedang ramai dibicarakan. Perempuan itu melihat wajah orang tua yang sedang terbaring itu, seulas senyum terukir di wajah orang tua itu yang sedang memperhatikan dengan seksama wajah anak-cucunya satu per satu dihadapannya. Perempuan itu pun tersenyum, puas melihat ekspresi wajah dari orang tua itu.

 

Perempuan itu membatin dalam dirinya sendiri, “Cepat sembuh, Pa. Kami semua sayang Papa.

Momen 2

yessicaolivia post on December 11th, 2012
Posted in Cerpen

Seorang pria datang dengan tergesa-gesa. Sudah terlambat, pikirnya. Tiba di depan pintu acara, pria itu segera mendatangi meja registrasi. Saat menuliskan namanya pada buku tamu, pria itu mendengar suara seorang perempuan disebelahnya, suara yang sudah tak asing lagi ditelinganya, suara yang telah lama tak didengarnya. Lebih daripada itu, suara itu – adalah suara yang mampu mengubah perasaan pria itu seketika menjadi senang.

 

Mengatur napas dan detak jantung yang tiba-tiba berdegup kencang, pria itu menyelesaikan registrasi, lalu perlahan menoleh ke arah sumber suara itu. Dilihatnya wajah seorang perempuan yang telah dinantikannya selama 7 tahun terakhir ini, sedang berdiri di sampingnya. Pria itu hanya mampu tersenyum, tak mampu berucap kata. Perempuan itu pun menyadari keberadaan pria itu, dan membalasnya tersenyum, lalu perempuan itu pergi menemui tamu-tamu yang lain.

 

Pria itu tidak datang sendiri, ia bersama seorang teman, lalu mereka bersama-sama mencari tempat duduk. Acara dimulai. Pria itu tak sepenuhnya memperhatikan acara yang sedang berlangsung karena hatinya tak tenang. Matanya mencari perempuan itu, dan hanya perempuan itu yang ingin dilihatnya. Itulah tujuan ia datang, bukan untuk acara itu, tapi untuk bertemu dengan perempuan itu.

 

Namun, yang hanya bisa dilakukan pria itu hanya memandangi dan mengamati perempuan itu dari jauh. Dilihatnya perempuan itu sangat sibuk, namun wajahnya memancarkan cahaya kegembiraan yang tak pernah mati – begitulah ia mengenal perempuan itu – yang selalu memiliki semangat ceria dalam kondisi apapun. Dilihatnya perempuan itu asik bergurau dengan seorang lelaki muda. Tak lama kemudian, perempuan itu bersama dengan sebuah rombongan, dan tampak bahwa perempuan itu antusias berbicara dengan salah satu dari rombongan itu. Hati pria itu seketika tertusuk, sakit, dan tak berdaya. Pria itu mengamati, dan hanya bisa mengamati. Sekilas, pandangan pria itu tertangkap oleh perempuan itu, yang sedang mendengarkan seorang lelaki berbisik di telinganya, kemudian perempuan itu memalingkan wajahnya. Meski seluruh pemandangan itu tak sanggup untuk dicerna olehnya, namun pria itu hanya bisa menyimpannya dalam hatinya sendiri. Aku akan selalu menunggumu.

 

***

Perempuan itu kembali ke rombongan dan mengobrol dengan seorang lelaki. Saat lelaki itu membisikkan sesuatu ke telinga sang perempuan, seketika perempuan itu melihat sepasang bola mata yang lurus sedang menatapnya, dan jantung perempuan itu seketika berhenti. Bola mata itu – bola mata penuh penantian, tak kuasa dibalasnya.

 

Maafkan aku, batin perempuan itu.

 

Kemudian, perempuan itu pergi.

Lelah

yessicaolivia post on October 17th, 2012
Posted in Cerpen

Tidak ada kendali. Tidak ada daya.

Habis tenaga.

Tak berkutik, juga tak ada energi.

Hilang semua.

 

Perempuan itu, kehabisan energi. Tidak ada daya juga tenaga untuk melakukan sesuatu. Perempuan itu tak sedang sakit, juga tak cacat. Pikirannya lah yang jenuh, hingga habis sudah sisa kendali otak terhadap tubuh. Dia hanya ingin istirahat dari semua kegiatannya yang padat, jenuh dengan hari-hari yang melelahkan. Dia hanya ingin merebahkan diri sebentar, berharap memiliki kebebasan melepas penat tanpa beban pikiran mendatang.

 

Kata sebentar menjadi tak cukup ketika waktu tak mau berkompromi dan malah berjalan mengejek dengan lebih cepat. Kata sebentar berubah menjadi beberapa waktu. Ya, benar. Perempuan itu berharap memiliki beberapa – tidak – banyak waktu untuk bisa dihabiskan dengan bersantai. Perempuan itu mengeluh kepada seorang yang lain, bahwa tubuh dan pikirannya terasa mengalami penurunan stamina yang drastis, dan hanya ada satu keinginan yang timbul : tak ingin melakukan apa-apa. Seorang yang lain menghela napas panjang melihat sosok perempuan itu, lalu berucap dengan lirih, “kau sudah terlalu lelah”.

 

Telepon berdering, perempuan itu mengangkat telepon dengan malas. Ajakan untuk pergi ke gereja. Benar, sungguh benar, perempuan itu habis akal menemukan alasan untuk tidak datang. Kemudian ditemukannya alasan yang tidak berbohong namun juga tidak begitu benar – itulah yang terjadi ketika seseorang hanya bercerita sebagian, tidak keseluruhan cerita – sehingga akhirnya perempuan itu tetap tinggal di kediamannya sendiri.

 

Diserang oleh beban pikiran akan tanggungjawab kedepan, perempuan itu tak tahan oleh kemalasannya. Diseretnya tubuh dan pikiran untuk kembali berkonsentrasi pada rutinitasnya, mengerjakan tugas yang ada di depan mata. Perempuan itu berusaha mengendalikan seluruh jiwa raganya, mengajaknya untuk kembali ke bumi, kembali menyadari akan beban masyarakat terhadapnya, perlahan membuka laptop dan mulai mengetik. Walau berat, perempuan itu melonggarkan diri, memberi toleransi bagi tubuh untuk tak serta merta kerja keras, namun mengerjakan tugasnya secara perlahan-lahan sambil sedikit bersantai, mencoba mengerjakannya dengan rileks, tak dikejar oleh waktu sebagaimana biasanya.

 

Telepon berdering kali kedua. Datang sebuah undangan makan malam bersama. Untuk kali pertama, perempuan itu dengan hati enggan menolak undangan tersebut, memberikan alasan santun dengan alasan yang klise – sedang sibuk mengerjakan tugas.

 

Usai menutup telepon, perempuan itu menyadari bahwa dirinya juga sudah terlalu lama duduk di depan laptop dan belum santap malam. Dengan gontai, perempuan itu bangkit dari meja laptopnya, bersusah payah membawa tubuhnya ke dapur untuk mengambil makanan yang sudah disiapkan sebelumnya, lalu membawanya kembali ke ruang kerjanya. Perempuan itu lantas makan sambil bekerja kembali – tidak – sesungguhnya, perempuan itu bekerja sambil makan.

 

Perlahan, perempuan itu pun telah kembali berhadapan dengan rutinitasnya, kembali pada tuntutan hidupnya, meski jiwa dan raganya sudah terlalu lelah karenanya.

Momen

yessicaolivia post on October 10th, 2012
Posted in Cerpen

Hari yang mendebarkan telah tiba. Perempuan itu dengan gelisah mengecek jam tangannya berulang kali. Perempuan itu tak tenang, mondar-mandir, berkaca sebentar, membenahi rambut dan pakaiannya, berulang kali mengecek penampilannya agar tetap tampak ‘sempurna’ baginya.

 

Perempuan itu sedang menunggu seseorang menjemputnya. Mereka hendak pergi ke suatu tempat keramaian, acara makan bersama. Tertera acara dimulai pukul 6 sore, namun sekarang waktu telah menunjukkan setengah 7 malam lebih. Seseorang tak kunjung datang menjemput. Perempuan itu pun segera merogoh tasnya, mengambil telepon genggamnya, mencari nomor yang dituju dan menekan tombol dial. Menunggu nada dering, seseorang menjawab teleponnya. Akan tiba 15 menit lagi, katanya. Dengan sabar namun masih dengan perasaan gelisah, perempuan itu menunggu.

 

15 menit berlalu, seseorang menelponnya kembali, mengabarkan bahwa dirinya sudah dekat menjemput. Perempuan itu segera keluar ke area penjemputan, lalu berangkat bersama.

 

Pukul tujuh lewat tiga puluh menit mereka sampai tujuan. Dengan perasaan malu dan bersalah karena begitu terlambat, perempuan itu segera menuju area acara. Namun didapatinya acara ternyata belum dimulai. Tamu undangan masih setengah terisi. Untung saja, pikir perempuan itu.

 

Tak sengaja menoleh ke arah pintu masuk, perempuan itu melihat sosok yang membuat dirinya terkejut.

 

Dia datang.

 

Hati perempuan itu seketika berubah tak keruan, dirinya sama sekali tak berharap dan tak pernah berpikir bisa bertemu dengannya kembali, namun alangkah kebetulan sekali, perempuan itu bisa berjumpa lagi dengannya sekarang setelah sekian lama tak pernah tahu kabarnya. Satu hal yang disadari oleh perempuan itu, ternyata dirinya masih merasakan perasaan yang sama terhadapnya. Perasaan yang telah lama tak pernah dirasakan kembali oleh perempuan itu, karena sudah terlalu lama sepi yang menghampiri dirinya.

 

Dia nyatanya juga menyadari pandangan perempuan itu, kemudian balas memandang dengan tatapan khas nya, tatapan yang ramah namun ‘dingin’, tatapan yang sopan namun ‘cuek’ dan tatapan yang mampu membuat hati perempuan itu semakin bergejolak. Dari kejauhan, perempuan itu dengan terkejutnya hanya bisa menahan napas lalu menyapanya dengan riang.

 

Segera setelah itu, seperti merasa dipandang oleh seseorang, perempuan itu menoleh ke sisi kiri tubuhnya. Dan benar saja, seseorang memang sedang memandangnya. Pandangan itu –perempuan itu tak akan pernah melupakannya – dapat dideskripsikan sebagai pandangan kagum dan terpesona dari seorang lelaki muda, seseorang yang tak lama dikenalnya, dimana awal pertemuan mereka sanggup memikat perempuan itu. Bertahan dengan tatapan yang sama, lelaki itu memanggil perempuan itu untuk datang ke tempatnya, sebuah ajakan yang akrab dan mesra, seperti ajakan seorang kekasih pria terhadap wanita pujaannya. Namun perempuan itu hanya bisa tersenyum sopan dan kembali sibuk oleh kedatangan tamu yang lain.

 

Acara pun dimulai. Perempuan itu teringat akan lelaki muda itu, kemudian mencarinya. Mereka pun bertemu, lalu bersenda gurau, dan berbincang akrab seperti sudah terjalin ikatan yang tak tampak mengikat keduanya seperti teman lama.

 

Sesudah bercakap-kacap, perempuan itu menangkap kembali bayangannya, seseorang yang membuat degup jantung perempuan itu bergedup kencang. Dengan sifatnya yang ceria, perempuan itu mampu membaur dan bergabung bersama dengan teman-teman si dia. Sepanjang acara, berbagai macam hal dibicarakan. Perempuan itu terlalu senang dengan pertemuan dengannya kembali hingga menyadari bahwa dirinya terlalu antusias berbincang dengan dia. Perempuan itu berusaha mengendalikan diri, mencoba tampil biasa, namun si dia tak hentinya iseng menggoda perempuan itu – itulah yang dulu mereka biasa lakukan – sehingga mengingatkan perempuan itu kembali, betapa rindunya dirinya akan perasaan itu, perasaan tersipu malu karena godaan-godaan kecil yang biasa terlontar, yang kemudian menjadi bahan tertawaan bersama. Gaya komunikasi yang membuat keduanya menjadi lebih intim, karena keduanya melengkapi sifat dasarnya masing-masing, yang kemudian berujung pada komunikasi yang mesra antar dua insan yang berbeda, pria dan wanita.

 

Satu perbuatan kecil yang manis, dia mengambilkan segelas air untuk perempuan itu, lalu mereka makan bersama.

 

Bertemu dengan yang lain, perempuan itu kemudian pergi.

 

Sesaat berbincang dengan yang lain, perempuan itu kembali menangkap pandangan yang memperhatikan dirinya. Tatapan yang sama dari lelaki muda itu. Menyadari telah dipandang cukup lama, perempuan itu mengambil kamera dan mencoba memotret ekspresi wajah itu, yang kemudian sang pemilik wajah itu segera tersadar dan menutupi wajahnya karena malu telah tertangkap basah mencuri pandang.

 

Hingga pada akhir acara, perempuan itu kembali mencari si dia. Tapi bayangan itu sudah tak lagi terlihat meski telah dicarinya hingga ke sudut ruangan. Dia telah pergi, batinnya. Lalu seorang menyadarkannya, “mencari siapa?” dan perempuan itu hanya menjawab “ah, tidak”.

 

***

 

Sudah lama perempuan itu beranggapan tak bisa merasakan perasaan itu lagi kepada siapapun, karena dirinya sudah terlalu lama mengalami kesepian dan putus asa menghadapi perasaan yang mati. Namun hari ini perempuan itu mendapati dirinya tersadar kembali, bahwa dirinya masih memiliki perasaan yang hidup.

 

Perempuan itu juga tak akan pernah lupa pandangan dari kedua bola mata itu, pandangan yang tak pernah dirinya dapatkan dari lelaki muda itu semenjak mengenalnya. Tatapan yang pernuh arti, dan penuh pujaan.

  • Facebook
  • LinkedIn
  • Twitter