Category Archive:Cerpen

Penantian

yessicaolivia post on December 19th, 2015
Posted in Cerpen

Gadis itu menangis sejadi-jadinya. Ia bahkan sudah lupa kapan terakhir kali ia menangis yang begitu menyayat hati. Air matanya terus bergulir, kedua matanya pun lebam.

Ia baru menyadari bahwa ia telah jatuh terlalu dalam. Kalimat yang barusan ia baca dari pesan yang masuk di handphonenya, meluluhlantakkan hatinya. Begitu perih. Begitu sakit.

Teks singkat itu hanyalah sebuah kalimat. Bagi sebagian besar orang, kalimat itu berisi kalimat yang biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Tapi bagi gadis itu, yang sebelumnya ia sendiri juga tak menyadarinya, ternyata amat sangat berarti.

***

Penantian. Kesabaran. Cinta. Kasih sayang. Harapan. Semua ia curahkan untuk satu orang yang amat berarti bagi hidupnya.

***

Gadis itu ingin marah, tapi bukan amarah yang ia rasa, gadis itu ingin membenci, tapi bukan kebencian yang ia rasa. Hatinya jauh melampaui amarah dan kebencian. Hatinya telah hancur berkeping-keping. Rasa sedih menyelimuti dirinya. “Apa salahku? Mengapa diriku?” Gadis itu berulang kali berpikir.

Kalimat itu daridulu muncul tapi ia tak pernah mempercayainya. Tapi kali itu, entah mengapa rasa putus asa tiba-tiba menghantuinya. Ia kecewa pada dirinya sendiri. Ia terperdaya oleh dirinya sendiri. Namun ia sadar saat ia telah jatuh terlalu dalam. Dan saat ia terjebak jauh di dalam dasar itu, tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Air matanya pun membuncah, pecah sudah tangis yang selama ini tak pernah ia keluarkan untuk itu. Gadis itu kehabisan akal, ia tak lagi bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menangis. Gadis itu benar2 menangis sejadi-jadinya. Isakannya ia tahan, karena ia tak mau terdengar oleh orang lain, namun air mata yang muncul di pelupuk matanya terus saja mengalir. Ia menangis dalam kesunyian, dalam kehampaan. Raut mukanya benar-benar sayu dan sendu, dan ia terisak dalam diam..

Ia menangis dalam diam

……inikah jawabannya?

Jarak

yessicaolivia post on August 15th, 2015
Posted in Cerpen

Tiba saatnya.
Gadis ini mencoba untuk mempersiapkan diri. Ia berulang kali mengecek kopernya, memasukkan barangnya, dan melihat sekeliling apa yang tertinggal. Sesudah semuanya selesai, ia duduk terdiam.
Pandangannya kosong.

“Mikir apa?” seseorang bertanya.

Gadis itu tak segera menjawab, ia hanya menggelengkan kepala, menghela nafas lalu menyungging senyuman kecil.

“Tidak ada apa-apa” jawabnya singkat.

Gadis itu tak dapat menguraikan apa yg sedang ada di dalam pikirannya – dan benaknya. Semuanya tercampur aduk, semuanya tertumpuk. Ia tak tahu bagaimana memulai, bagaimana mengutarakan. Atau, sebenarnya ia hanya menghindar untuk membicarakan luka hatinya?

Gadis itupun mencoba membuka mulutnya,
“Apa yang akan terjadi 4 bulan kedepan….” gadis itu menghentikan kata-katanya.
“Tidak ada perubahan, akan sama seperti ini ini saja” jawab seseorang.
“Lihat 4 bulan yang lalu, dulu kita seperti apa, dan sekarang bisa jadi seperti saat ini. Banyak hal yang telah terjadi. Sama dengan 4 bulan kedepan, pasti banyak perubahan juga. Mungkin, kalian lupa diriku…” kerongkongan gadis itu tercekat, lalu ia melanjutkan kata-katanya “tidak, bukan 4 bulan kedepan, mungkin 1 bulan sudah cukup untuk lupa akan diriku.”

Gadis itu berpikir, betapa lucunya hubungan sosial antar manusia. Sejak SD, kita semua diajarkan pengetahuan bahwa manusia adalah mahkluk sosial. Manusia memerlukan interaksi dan bergantung dengan manusia yang lain. Tapi, bagaimana dengan mempertahankan hubungan sosial itu? Gadis ini baru menyadari, sekolah tak pernah mengajarkan bagaimana cara mempertahankan. Dalam banyak hal, lebih mudah mencapai hal baru daripada mempertahankan. Sama halnya dengan mempertahankan kejuaraan, mempertahankan hubungan pun juga bukan perkara yang mudah.

Dan gadis ini pun penasaran, setelah pertemuan ini selesai, akankah hubungan sosial itu juga akan berakhir?

Setelah menjalani kehidupan 6 bulan bersama, bergantung satu sama lain, saling menjaga, saling peduli, saling menolong, bahkan saling olok dan saling “menjatuhkan”, apakah ikatan hubungan unik ini akan berakhir begitu saja oleh karena satu alasan —- jarak? Akankah semua kenangan yang telah dibuat menjadi pudar dan sirna begitu saja?

Ia mengerti bahwa tiap individu memiliki kesibukannya masing-masing. Bahwa tiap manusia memiliki kehidupannya sendiri. Tapi komunikasi yang sekarang begitu mudahnya terhubung, justru makin membuat manusia merasa hampa.

Beginikah cara kerja hubungan antar manusia? Ada ketika bersama, dan lenyap ketika jarak memisahkan?

Benar begitu?

Cukup

yessicaolivia post on January 21st, 2014
Posted in Cerpen

Perempuan itu duduk di sudut ruang perpustakaan. Suasana perpustakaan yang begitu sunyi, mengingatkannya pada laut. Ia coba memejamkan matanya, lalu menghela napas panjang. Memorinya melemparnya kembali ke masa lalu, dimana dirinya saat ini merindukan laut, tempat kedamaiannya.

 

Perempuan itu menarik napas panjang lagi, ia sedang mencoba membawa dirinya kembali berada di ujung dermaga, duduk ditepian, menikmati pemandangan laut dan langit, sambil mendengarkan pasang surut air di tepi pantai. Ia biasa berjam-jam lamanya duduk diam disana, sendiri, dan ia rindu akan perasaan itu – sebuah perasaan yang menenangkan, dimana ia bahkan tak bisa memikirkan kekhawatiran sedikitpun dalam semua masalahnya. Seakan-akan tak ada yang perlu dikhawatirkan di dunia ini, karena segalanya sia-sia.

 

Perempuan itu tentu masih ingat akan semua masalah dan kenangan pahit yang ia sedang coba lupakan, tapi rasa sakit itu, tidak ada disana lagi.

 

Saat ia berada di ujung dermaga itu, saat ia memejamkan matanya, menghirup napas panjang, merasakan desiran angin menerpa wajahnya, dan dengan mendengarkan suara deru ombak yang merdu itu, ia amat merasa damai. Tidak ada lagi rasa sakit yang selama ini menghantuinya, tidak ada lagi rasa sesak yang memenuhi dadanya, dan tidak ada lagi tetesan air mata yang membasahi pipinya. Ia tak lagi merasakan dunia, ia bahkan sudah lupa akan dunia itu sendiri. Segalanya terasa sirna. Segalanya terasa sempurna. Segalanya terasa abadi.

 

Segalanya terasa……cukup. Hanya inilah, segalanya terasa cukup.

Realita

yessicaolivia post on July 19th, 2013
Posted in Cerpen

Perempuan itu terbangun dengan linglung. Detik pertama, perempuan itu merasakan otaknya begitu penuh dengan memori-memori aneh seperti ada sebuah film yang diputar dengan cepat di dalam pikirannya. Lima detik kemudian, perempuan itu merasakan sensasi yang begitu aneh. Ia seperti telah terjebak diantara dua kesadaran, dimana ia saat ini dipaksa untuk segera memutuskan hendak hidup di kesadaran mana. Perempuan itu tetap memejamkan matanya, memutuskan untuk melanjutkan untuk hidup di alam mimpi, karena sesuatu yang telah terjadi dalam tidurnya itu masih sedang berlangsung, ia ingin tahu kelanjutan dan akhir cerita dari mimpi tersebut. Tapi semakin bersikerasnya perempuan itu ingin kembali tidur, semakin kuat pula arus kesadaran yang masuk, memaksa perempuan itu untuk menyadari dunia nyata. Perempuan itu berusaha menelaah memori-memori yang baru saja ia impikan. Perempuan itu bersikeras untuk menahan ingatan itu, tapi karena begitu banyak adegan yang sedang berlangsung di dalam otaknya diputar begitu cepatnya, perempuan itu tak berhasil menangkap memori itu.

 

Dua puluh detik berlalu. Seiring dengan terserapnya kesadaran memenuhi tubuhnya untuk

Read the rest of this entry >>

Seandainya

yessicaolivia post on May 18th, 2013
Posted in Cerpen

Sekumpulan orang berkumpul dalam satu ruangan. Usia mereka beragam, ada yang sudah memiliki cucu, juga ada yang masih berumur 18. Mereka semua berkumpul karena satu kesamaan, yakni memiliki rasa cinta yang sama, meski mereka tidak memiliki sedikitpun kesamaan darah.

 

Ada seorang perempuan muda juga ada di dalam ruangan itu. Umurnya sekitar 20 tahunan. Wajahnya mungil dan kulitnya kecoklatan. Gadis itu tak henti-hentinya melirik seseorang yang menarik perhatiannya sejak ia datang. Seorang pria berkulit putih, murah senyum, dan pintar. Hal ini ia ketahui karena meski pria itu termasuk jajaran anak muda, ia dihormati oleh para ibu-ibu dan bapak-bapak senior lainnya. Gadis itu terkesima dengan pria itu, kuatnya rasa tertariknya itu seakan-akan membuat siapapun tahu bahwa gadis itu menyukai pria itu.

 

Setahun berselang, gadis itu masih rajin mengikuti klub tersebut. Salah satu tujuannya tentu karena ingin melihat pria itu. Namun, kabar terakhirnya, 3 bulan yang lalu pria itu putus cinta dan baru saja ia menemukan penggantinya. Dengan hanya memiliki harapan akan cinta bertepuk sebelah tangan, pikiran gadis itu melayang sambil melihat tawa bahagia dari pria yang ada di hadapannya saat ini.

 

Gadis itu membayangkan akan melihat tawa bahagia yang sama itu saat ada di pesta pernikahan pria itu. Bersama perempuan lain. Gadis itu membayangkan, bagaimana rasanya diundang dan hadir dalam pesta pernikahan seseorang yang selama ini ia hanya bisa lihat dari kejauhan, yang selama ini ia hanya bisa simpan dalam hatinya sendiri. Bagaimana rasanya melihat pria yang dicintainya mengikat janji setia dengan perempuan yang bukan dirinya, tertawa bahagia karena perempuan itu, yang bukan dirinya. Bagaimana rasanya melihat pria tampan itu berdiri di atas panggung pelaminan, menggandeng perempuan lain, dan menciumnya di depan tamu undangan, termasuk dirinya.

 

Bagaimana rasanya melihat itu semua dengan mata kepalanya sendiri?

 

Gadis itu hanya tersenyum miris, membayangkannya saja ia sudah tidak tahu akan berbuat apa. Gadis itu berpikir, tentu ia juga akan bahagia jika pria itu akhirnya menemukan pendamping pilihannya. Tapi, apakah itu benar? Ataukah hanya kata-kata klise, sebuah kebohongan semata? Karena perasaan tak pernah bohong atas rasa sakit yang muncul. Luka itu tak akan berkompromi dengan akal sehat. Apa yang dirasakan oleh hati, mencerminkan perasaan yang sesungguhnya dari gadis itu. Tak ada kata bahagia ketika seseorang yang amat dicintai bahagia bersama orang lain. Hatinya sedih, karena bukan dirinyalah yang bisa membuat pria itu bahagia. Itu egonya.

 

Pria itu tiba-tiba menoleh ke arah gadis itu, sepertinya ia merasa diperhatikan. Gadis itu kaget melihat wajahnya terpantul dalam mata pria itu, lalu meleleh melihat senyum yang tersungging di wajah pria itu.

 

Ah, seandainya……….

Pesona

yessicaolivia post on March 8th, 2013
Posted in Cerpen

Pesta pernikahan.

 

Tamu-tamu berlomba-lomba untuk memamerkan baju terbaiknya. Para laki-laki memakai jas terbaiknya, para perempuan memakai gaun dan make up terbaiknya. Semua ingin tampil memukau di ajang paling membahagiakan ini. Baik yang tua maupun muda, semuanya ada di sini, makan bersama, bersenda-gurau, bersenang senang.

 

Diantara gelap gempita pesta pernikahan yang amat megah, berdiri seorang gadis yang amat mempesona. Dia memakai dress sederhana berwarna ungu, rambut panjang hitamnya dibiarkan terurai rapi. Dia tak begitu cantik, tapi ia memiliki wajah yang manis, ada dua lekukan di pipinya ketika ia tersenyum. Wajah manisnya yang terlihat sangat polos dan murni, membuat ia menjadi gadis yang menarik. Gadis itu tidak memakai make up yang mencolok, sebagai gantinya, dia hanya memakai bedak tipis dan lipstik. Jika para wanita memakai high heels, dia hanya memakai flat shoes polos untuk menghiasi kakinya. Sungguh penampilan yang amat sederhana di sebuah pesta megah seperti ini. Namun bukan cara berpakaiannya yang simple dan sederhana membuat dia tampil memukau, tapi saat ketika seseorang melihatnya berbicara.

 

Mulut gadis itu bergerak-gerak komat-kamit, tapi tak ada suara yang keluar dari mulut itu. Dia sedang bercakap-cakap dengan teman gadis yang juga sebaya dengannya, dengan sangat antusias mengerak-gerakkan tangan dan tubuhnya dengan ekspresi bahagia, dan dalam seketika, mampu membuat teman yang dihadapannya tertawa terbahak-bahak. Seseorang yang melihatnya tak mengerti cerita lucu apa yang diceritakan gadis itu, tapi ia mengerti sesuatu, yang tiba-tiba menghujam benaknya.

 

Bukan rasa kasian yang timbul sesudah ia tahu apa kekurangan gadis itu, namun justru sebaliknya. Seseorang merasa terharu, terpukau dengan pemandangan yang baru saja dilihatnya, merasa tiba-tiba ada suatu perasaan membumbung di dalam benaknya, seperti ketika ia sedang jatuh cinta. Ia mengagumi gadis itu, yang seketika membuat gadis itu terlihat semakin cantik, semakin cantik, dan semakin cantik. Gadis itu benar-benar terlihat sangat cantik, dan seseorang itu tak kunjung bisa melepaskan pandangannya terhadap gadis yang sedang tersenyum bahagia itu. Ia juga tak mengerti mengapa dan bagaimana ia mengagumi gadis itu, tapi satu hal yang ia tahu : semua manusia di muka bumi ini dalam seluruh kekurangan yang dimilikinya, pasti memiliki kecantikkannya masing-masing. Kecantikkan di dalam diri yang akan terpancar keluar, membuat siapapun disekelilingnya akan terpukau karenanya.

Gedung putih 2

yessicaolivia post on January 24th, 2013
Posted in Cerpen

“Sus, gimana kondisinya? Tadi pihak rumah sakit telpon saya untuk penambahan albumin, saya tadi langsung konfirmasi setuju dan mohon segera diproses. Apa sudah Sus?”

 

“Benar Bu. Barusan sudah diberi albumin ya. Ibu tolong tanda tangan disini……”

 

Ibu itu langsung menandatanganinya, lalu segera menyerahkan ke suster. Pandangan ibu itu penuh banyak tanya, ingin mengetahui penjelasan yang lebih lanjut dari suster itu, namun tak tahu darimana harus mulai bertanya. Rasanya ingin segera menengok masuk ke dalam, melihatnya dengan mata kepala sendiri, bagaimana kondisinya saat ini. Perasaan ibu ini sungguh tak keruan, seluruh kecemasan dan kekhawatiran menyelimuti dirinya.

 

“Sus, maksudnya diberi albumin ini kenapa Sus?” tanya ibu itu.

“Pasien kekurangan albumin. Apa beliau sulit makan sebelumnya?”

“Memang kemarin pasien cuma bisa makan sedikit, Sus. Tidak nafsu makan katanya”

“Ohhh, bukan karena sehari-dua hari. Ini bisa terjadi karena penumpukkan dalam seminggu-dua minggu terakhir.”

“Lho, kalau hari sebelum-sebelumnya makannya banyak kok Sus, cuma kemarin saja yang sedikit” jelas sang ibu.

“Wah, kalau begitu mungkin karena sebelumnya sudah kekurangan Bu, dan karena baru masuk ICU hari ini, jadi baru di cek kondisi pasien seluruhnya….”

“Tapi tak perlu khawatir Bu, hanya sedikit kekurangannya. Manusia normal harusnya memiliki kandungan albumin di 3,5. Ini pasien di angka 3,2. Hanya sedikit kurangnya,” lanjut suster itu menjelaskan.

 

Agaknya penjelasan itu sudah sedikit banyak melegakan ibu itu. Perasaan cemas pun sudah berkurang banyak. Tapi tetap saja, ada perasaan yang masih mengganggu ibu itu.

 

“Ya Ibu, ada yang bisa saya bantu lagi?” tanya sang suster, melihat ibu itu sepertinya belum ingin beranjak dari depan ruang ICU.

“Anu, Sus…, saya bisa lihat?” tanya ibu itu sambil menunjuk masuk ke dalam ruang ICU.

“Tunggu sebentar ya Ibu. Limabelas menit lagi jam 5, jam besuk diizinkan.”

“Baik Sus, terimakasih, terimakasih…”.

 

Lima belasmenit menunggu. Lalu jam besuk dibuka. Seluruh korden jendela dibuka, agar para pembesuk dapat melihat dari kaca. Atau jika ingin masuk, harus bergantian satu persatu, dan para pembesuk diwajibkan memakai baju dari rumah sakit. Ibu itu langsung masuk, terburu-buru memakai seragam rumah sakit.

***

 

Dilihatnya seorang lelaki tua terbaring amat sangat lemah, kali ini ada selang dimulutnya. Pagi subuh tadi, sekitar jam 3, rumah sakit menelpon bahwa pasien mendadak sesak. Pasien melolong kesakitan kepada suster yang menjaga, meminta dokter untuk segera datang. Pasokan oksigen berkurang drastis, paru-paru pasien hanya mampu menghirup 50% oksigen. Pihak keluarga segera ditelpon dan ditanya, apa bersedia menggunakan selang yang dimasukkan ke paru-paru melalui mulutnya. Fungsi selang ini akan menghantar oksigen langsung masuk ke paru-paru, sehingga akan menambah pasokan oksigen untuk pernafasan. Selain sudah tak mungkin pasien bisa bicara lagi karena selang tersebut masuk melewati pita suara, tentu saja memasukkan selang lewat kerongkongan akan sangat menyakitkan bagi pasien. Tapi tak ada pilihan lain yang bisa dipilih. Biaya sebesar 35 juta rupiah untuk pemasangan alat dan 10 juta per hari kedepannya untuk biaya sewa dan obat pun ditandatangani tanpa pikir panjang. Dengan segera, pasien dipindahkan ke ruang ICU.

 

Dan sekarang dihadapannya, laki-laki tua tersebut sedang membuka matanya, seperti sedang menerawang, antara sadar dan tidak. Selain selang yang ada di mulutnya, disekelilingnya ada obat infus yang menjalar masuk ke tangan pasien, lalu ada alat pemantau kondisi, bentuknya seperti monitor komputer PC zaman dulu. Dilihatnya ada gambar garis detak jantung, tekanan darah, lalu di bagian bawah layar ada gambar paru-paru dengan angka merah, menunjukkan angka antara 29-32. Ibu itu melihat pasien lain disebelahnya, ada monitor yang sama, namun bagian bawah layar bergambar paru-paru itu menunjukkan angka 18-20, dan berwarna hijau. Meski Ibu itu tak begitu mengerti pembacaan alat medis, namun Ibu itu kurang lebih memahami kondisi mana yang parah.

 

Setelah melihat sekilas sekelilingnya, Ibu tersebut kembali menatap pasien, lalu menyapanya dengan lirih, “Pa, ini In.”

 

Laki-laki tua itu menyadari suara itu, lalu menoleh menghadapnya. Seperti ingin berbicara namun tak bisa, ibu itu langsung memotong “Pa, jangan bicara. Sudah, jangan bicara.” Laki-laki tua itu lalu menghentikan usahanya, mengangguk lemas, lalu memejamkan matanya.

 

Ibu itu langsung banjir air mata, tak kuasa melihat ayahnya tak berdaya seperti itu. Tak bisa bangun juga tak boleh banyak bergerak, dan bahkan tak bisa bicara. Yg bisa dilakukan laki-laki tua itu hanya membuka matanya, melirik sana sini, dan tidur. Makanpun juga sudah tidak bisa, asupan gizi diperoleh dari selang infus. Jika ingin buang air kecil atau besar, langsung buang air di ranjang, dimana nanti dibawahnya ada bak khusus untuk menampung kotorannya.

 

Karena Ibu itu tak ingin ayahnya melihat linangan air mata yang makin lama makin deras, ia segera keluar, lalu menangis sejadi-jadinya di ruang tunggu, berkata sambil terisak, “kasian Papa. Papa tersiksa. Mau bicara, tapi tak bisa. Mulutnya menganga karena ada selang dimulutnya, hanya bisa membuka mata, dan menerawang……. Kasian Papa…. Papa tersiksa….” diulanginya dua kalimat terakhir itu untuk kesekian kalinya, dan ibu itu tak berhenti menangis.

 

35 menit berselang, keempat saudaranya datang. Mereka satu persatu masuk bergantian, dan keluar sambil merengut, bergumam lirih, “bagaimana ini….bagaimana ini…”

 

Setelah jam besuk usai, mereka lalu membuat lingkaran kecil. Bersama, mereka berdoa mengharap kesembuhan papa tercinta…

Gedung Putih

yessicaolivia post on December 18th, 2012
Posted in Cerpen

Dihadapannya berdiri sebuah gedung putih yang lumayan megah. Seorang perempuan memandangi gedung itu sebentar, lalu melangkah masuk. Dia segera menuju lift, ditekannya tombol naik.

 

2 menit berselang, pintu lift terbuka. Perempuan itu masuk, menekan angka 4. Lift berjalan naik, kemudian pintu terbuka kembali. Perempuan itu keluar, melongokkan wajah, seperti sedang mencari-cari petunjuk. Tertera di petunjuk, kamar 404 di sebelah kanan. Lantas, perempuan itu jalan ke arah kanan lalu ditemukannya kamar nomor 404.

 

Perempuan itu masuk.

 

Dilihatnya seorang laki-laki yang sudah lanjut usia sedang terbaring lemas di ranjang putih. Orang tua itu melihatnya, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian terbatuk-batuk. Segera seorang yang berseragam putih disebelahnya beranjak berdiri, mengambil tissue dan menadahkannya di bawah mulut orang tua tersebut. Orang tua itu meludahkan riak, lalu terengah-engah. Lalu perlahan, napasnya kembali teratur.

 

Perempuan itu hanya bergeming di tempatnya. Bingung harus berbuat apa. Yang dilakukan hanya berdiri di sebelahnya, berjaga-jaga.

 

Lalu, orang tua itu seperti berusaha mengatakan sesuatu yang belum tersampaikan tadi, perempuan itu sigap, langsung mencondongkan telinganya di dekat mulut orang tua itu. Suara yang diucapkan sangat lirih, terdengar nada cemas didalamnya. Samar-samar, perempuan itu mendengar kata yang diucapkan. Perempuan itu terkesiap, segera menjawab dengan suara tinggi, terdapat nada marah sekaligus sedih, “Sudah dibilang Papa gak perlu khawatir. Papa gak perlu mikir soal biaya. Semua sudah beres, Papa. Papa harus berusaha supaya cepat sembuh, bukannya malah kepikiran soal uang, tapi Papa harus optimis supaya segera keluar dari sini jadi gak perlu bayar sewa kamar lagi. Uang bisa dicari lagi, Papa. Papa gak usah khawatir”.

 

Orang tua itu hendak menyanggahnya, tapi kemudian mengalah dan menganggukkan kepala. Tubuhnya terasa lemas, sehingga tak ada tenaga untuk berdebat. Perempuan itu juga agaknya menyesali nada tingginya, lalu duduk terdiam.

 

***

 

Tak lama kemudian, beberapa rombongan keluarga datang, suasana jadi ramai. Orang tua itu mendapat banyak semangat, dan dibuatnya senang dengan kehadiran banyak orang. Mereka saling bertukar cerita, bercerita tentang kehidupan keluarga masing-masing, tentang kehidupan masing-masing anak-anaknya, dan cerita tentang pekerjaan masing-masing.

 

Perempuan itu hanya sanggup mendengarkan keluarga-keluarga tersebut bercakap-cakap, saling bersahutan satu sama lain. Mereka semua adalah saudara perempuan itu, tapi hanya perempuan itu sendiri yang lahir di lain rahim. Perempuan itu tidak tersinggung dengan keramaian yang tidak melibatkan dirinya sedikitpun, karena ia sudah terbiasa dengan suasana seperti ini – menjadi pendengar setia yang tak pernah dirasakan keberadaannya.

 

Beberapa waktu kemudian, perempuan itu pergi keluar dari ruangan itu sebentar, ingin berjalan-jalan setelah sekian lama duduk berjaga. Perempuan itu keluar, lalu mengamati sekelilingnya. Dilihatnya ada seorang pria setengah baya sedang duduk di depan ruang operasi, tangannya sedang menutupi kepalanya yang sedang tertunduk. Perempuan itu mengamati laki-laki tersebut seperti sedang berbicara, bibirnya mengatup-ngatup, mengerti bahwa bibir itu membentuk ujaran doa yang tiada hentinya.

 

Lalu tiba-tiba terdengar suara ambulans datang, seorang sakit lainnya diturunkan dari mobil, dan segera dibawa menuju ruang UGD. Perempuan itu melihat ranjang beroda itu melintas di hadapannya, ada seorang laki-laki berusia sekitar 28 tahun, mengejang-ngejang, berlumuran darah. Separuh wajah itu rusak, kepala itu hancur, laki-laki itu terus mengejang, terbatuk-batuk, memuntahkan darah. Segera perempuan itu memalingkan wajahnya, ia tak tahan melihatnya. Kontan saja mendadak, sekujur tubuhnya merinding ngeri.

 

Perempuan itu segera beralih, melangkahkan kakinya ke tempat yang lain. Ada seorang dokter sedang berbicara serius dengan seorang wanita di depan sebuah kamar. Tiga orang suster sedang lari terburu-buru menuju sebuah kamar pasien. Seorang bapak sedang tertunduk lemas mengamati selembar kertas yang disodorkan dari meja administrasi. Seorang ibu tua dengan pakaiannya yang lusuh, lari menerobos pintu masuk, menggendong anaknya yang sedang tak sadarkan diri.

 

Perempuan itu bergeming. Ia paling benci tempat ini. Tempat dimana ribuan nyawa terselamatkan, tapi juga sekaligus tempat dimana ribuan nyawa melayang. Lalu perempuan itu membalikkan badan, ingin kembali ke kamar. Seorang wanita berumur sedang meraung-raung, menjerit histeris, dan menangis sejadi-jadinya di depan ruang UGD. Seorang laki-laki yang seumuran dengan wanita itu berdiri di sampingnya, memeluk wanita itu, dan menangis dalam diam. Dokter dihadapannya tertunduk lemas, raut wajahnya terlihat letih dan menyesal. Dokter itu mendekati pasangan suami istri itu, seperti sedang menyampaikan sesuatu, lalu sang suami mengangguk, kemudian dokter itu melangkah pergi. Sang istri berteriak lebih histeris seperti orang gila, memanggil dan menyumpahi nama dokter itu berulang kali. Sang suami menahan sang istri untuk menyusul dokter itu, hanya bisa mendekapnya dalam pelukan, mencoba menenangkannya. Tak diduga, sang istri tiba-tiba terkulai lemas dan tak sadarkan diri. Laki-laki itu segera panik, dipanggilnya suster yang ada di dekatnya, lalu digendongnya istri itu menuju kamar yang ditunjuk oleh suster itu.

 

Suasana menjadi hening. Perempuan itu kembali kedalam kesadarannya. Ternyata, orang-orang disekitarnya pun juga mengamati pasangan suami istri itu tadi, lalu mereka tersadar dan kembali ke kegiatannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, aktivitas berjalan kembali.

 

***

 

Perempuan itu menghela nafas, mengerti bahwa laki-laki yang dibawa ambulans tadi telah tiada. Kedua orang tuanya sudah hadir, dan ibunya tak kuasa menerima kenyataan, hingga akhirnya pingsan. Suasana duka menjalar dalam dirinya. Meski tak mengenal siapa laki-laki itu, perempuan itu merasakan perasaan sendu, dan perasaan kelam mengingat sang ibu menjerit-jerit tadi. Bayangan ingatan yang tiba-tiba terputar ulang di otaknya, terlintas bayangan lumuran darah, separuh wajah rusak itu. Perempuan itu tahu bahwa laki-laki itu tampan dan dari keluarga berada, melihat pakaian yang dikenakannya. Lalu dilihatnya kembali bayangan sang ibu meraung menangis, tubuhnya tak sakit fisik sedikitpun, tapi apa yang ada di dalam dirinya telah hancur berkeping-keping, tak ada yang tahu persis bagaimana luar biasanya rasa sakit itu, rasa sakit yang membuat pemiliknya langsung mati seketika meski raganya masih ada. Hilangnya cinta, hilangnya harapan, hilangnya orang yang dikasihi seumur hidupnya, mengkosongkan seluruh jiwanya dalam sekejap.

 

Tak ayal, perempuan itu turut meneteskan air mata.

 

Kaki perempuan itu membawa perempuan itu kembali ke kamar. Sebelum membuka pintu kamar, perempuan itu menghapus air matanya, menghela nafas sebentar, lalu memantapkan diri masuk ke dalam kamar. Suasana ramai masih sama seperti sebelum perempuan itu meninggalkan ruangan itu, kemudian ia berjalan masuk, duduk di tempat yang ditinggalkannya tadi. Beberapa memperhatikan kedatangannya, hanya melihatnya sebentar, lalu mereka kembali ke dalam topik yang sedang ramai dibicarakan. Perempuan itu melihat wajah orang tua yang sedang terbaring itu, seulas senyum terukir di wajah orang tua itu yang sedang memperhatikan dengan seksama wajah anak-cucunya satu per satu dihadapannya. Perempuan itu pun tersenyum, puas melihat ekspresi wajah dari orang tua itu.

 

Perempuan itu membatin dalam dirinya sendiri, “Cepat sembuh, Pa. Kami semua sayang Papa.

Momen 2

yessicaolivia post on December 11th, 2012
Posted in Cerpen

Seorang pria datang dengan tergesa-gesa. Sudah terlambat, pikirnya. Tiba di depan pintu acara, pria itu segera mendatangi meja registrasi. Saat menuliskan namanya pada buku tamu, pria itu mendengar suara seorang perempuan disebelahnya, suara yang sudah tak asing lagi ditelinganya, suara yang telah lama tak didengarnya. Lebih daripada itu, suara itu – adalah suara yang mampu mengubah perasaan pria itu seketika menjadi senang.

 

Mengatur napas dan detak jantung yang tiba-tiba berdegup kencang, pria itu menyelesaikan registrasi, lalu perlahan menoleh ke arah sumber suara itu. Dilihatnya wajah seorang perempuan yang telah dinantikannya selama 7 tahun terakhir ini, sedang berdiri di sampingnya. Pria itu hanya mampu tersenyum, tak mampu berucap kata. Perempuan itu pun menyadari keberadaan pria itu, dan membalasnya tersenyum, lalu perempuan itu pergi menemui tamu-tamu yang lain.

 

Pria itu tidak datang sendiri, ia bersama seorang teman, lalu mereka bersama-sama mencari tempat duduk. Acara dimulai. Pria itu tak sepenuhnya memperhatikan acara yang sedang berlangsung karena hatinya tak tenang. Matanya mencari perempuan itu, dan hanya perempuan itu yang ingin dilihatnya. Itulah tujuan ia datang, bukan untuk acara itu, tapi untuk bertemu dengan perempuan itu.

 

Namun, yang hanya bisa dilakukan pria itu hanya memandangi dan mengamati perempuan itu dari jauh. Dilihatnya perempuan itu sangat sibuk, namun wajahnya memancarkan cahaya kegembiraan yang tak pernah mati – begitulah ia mengenal perempuan itu – yang selalu memiliki semangat ceria dalam kondisi apapun. Dilihatnya perempuan itu asik bergurau dengan seorang lelaki muda. Tak lama kemudian, perempuan itu bersama dengan sebuah rombongan, dan tampak bahwa perempuan itu antusias berbicara dengan salah satu dari rombongan itu. Hati pria itu seketika tertusuk, sakit, dan tak berdaya. Pria itu mengamati, dan hanya bisa mengamati. Sekilas, pandangan pria itu tertangkap oleh perempuan itu, yang sedang mendengarkan seorang lelaki berbisik di telinganya, kemudian perempuan itu memalingkan wajahnya. Meski seluruh pemandangan itu tak sanggup untuk dicerna olehnya, namun pria itu hanya bisa menyimpannya dalam hatinya sendiri. Aku akan selalu menunggumu.

 

***

Perempuan itu kembali ke rombongan dan mengobrol dengan seorang lelaki. Saat lelaki itu membisikkan sesuatu ke telinga sang perempuan, seketika perempuan itu melihat sepasang bola mata yang lurus sedang menatapnya, dan jantung perempuan itu seketika berhenti. Bola mata itu – bola mata penuh penantian, tak kuasa dibalasnya.

 

Maafkan aku, batin perempuan itu.

 

Kemudian, perempuan itu pergi.

Lelah

yessicaolivia post on October 17th, 2012
Posted in Cerpen

Tidak ada kendali. Tidak ada daya.

Habis tenaga.

Tak berkutik, juga tak ada energi.

Hilang semua.

 

Perempuan itu, kehabisan energi. Tidak ada daya juga tenaga untuk melakukan sesuatu. Perempuan itu tak sedang sakit, juga tak cacat. Pikirannya lah yang jenuh, hingga habis sudah sisa kendali otak terhadap tubuh. Dia hanya ingin istirahat dari semua kegiatannya yang padat, jenuh dengan hari-hari yang melelahkan. Dia hanya ingin merebahkan diri sebentar, berharap memiliki kebebasan melepas penat tanpa beban pikiran mendatang.

 

Kata sebentar menjadi tak cukup ketika waktu tak mau berkompromi dan malah berjalan mengejek dengan lebih cepat. Kata sebentar berubah menjadi beberapa waktu. Ya, benar. Perempuan itu berharap memiliki beberapa – tidak – banyak waktu untuk bisa dihabiskan dengan bersantai. Perempuan itu mengeluh kepada seorang yang lain, bahwa tubuh dan pikirannya terasa mengalami penurunan stamina yang drastis, dan hanya ada satu keinginan yang timbul : tak ingin melakukan apa-apa. Seorang yang lain menghela napas panjang melihat sosok perempuan itu, lalu berucap dengan lirih, “kau sudah terlalu lelah”.

 

Telepon berdering, perempuan itu mengangkat telepon dengan malas. Ajakan untuk pergi ke gereja. Benar, sungguh benar, perempuan itu habis akal menemukan alasan untuk tidak datang. Kemudian ditemukannya alasan yang tidak berbohong namun juga tidak begitu benar – itulah yang terjadi ketika seseorang hanya bercerita sebagian, tidak keseluruhan cerita – sehingga akhirnya perempuan itu tetap tinggal di kediamannya sendiri.

 

Diserang oleh beban pikiran akan tanggungjawab kedepan, perempuan itu tak tahan oleh kemalasannya. Diseretnya tubuh dan pikiran untuk kembali berkonsentrasi pada rutinitasnya, mengerjakan tugas yang ada di depan mata. Perempuan itu berusaha mengendalikan seluruh jiwa raganya, mengajaknya untuk kembali ke bumi, kembali menyadari akan beban masyarakat terhadapnya, perlahan membuka laptop dan mulai mengetik. Walau berat, perempuan itu melonggarkan diri, memberi toleransi bagi tubuh untuk tak serta merta kerja keras, namun mengerjakan tugasnya secara perlahan-lahan sambil sedikit bersantai, mencoba mengerjakannya dengan rileks, tak dikejar oleh waktu sebagaimana biasanya.

 

Telepon berdering kali kedua. Datang sebuah undangan makan malam bersama. Untuk kali pertama, perempuan itu dengan hati enggan menolak undangan tersebut, memberikan alasan santun dengan alasan yang klise – sedang sibuk mengerjakan tugas.

 

Usai menutup telepon, perempuan itu menyadari bahwa dirinya juga sudah terlalu lama duduk di depan laptop dan belum santap malam. Dengan gontai, perempuan itu bangkit dari meja laptopnya, bersusah payah membawa tubuhnya ke dapur untuk mengambil makanan yang sudah disiapkan sebelumnya, lalu membawanya kembali ke ruang kerjanya. Perempuan itu lantas makan sambil bekerja kembali – tidak – sesungguhnya, perempuan itu bekerja sambil makan.

 

Perlahan, perempuan itu pun telah kembali berhadapan dengan rutinitasnya, kembali pada tuntutan hidupnya, meski jiwa dan raganya sudah terlalu lelah karenanya.

  • Facebook
  • LinkedIn
  • Twitter