Gedung putih 2

yessicaolivia post on January 24th, 2013
Posted in Cerpen

“Sus, gimana kondisinya? Tadi pihak rumah sakit telpon saya untuk penambahan albumin, saya tadi langsung konfirmasi setuju dan mohon segera diproses. Apa sudah Sus?”

 

“Benar Bu. Barusan sudah diberi albumin ya. Ibu tolong tanda tangan disini……”

 

Ibu itu langsung menandatanganinya, lalu segera menyerahkan ke suster. Pandangan ibu itu penuh banyak tanya, ingin mengetahui penjelasan yang lebih lanjut dari suster itu, namun tak tahu darimana harus mulai bertanya. Rasanya ingin segera menengok masuk ke dalam, melihatnya dengan mata kepala sendiri, bagaimana kondisinya saat ini. Perasaan ibu ini sungguh tak keruan, seluruh kecemasan dan kekhawatiran menyelimuti dirinya.

 

“Sus, maksudnya diberi albumin ini kenapa Sus?” tanya ibu itu.

“Pasien kekurangan albumin. Apa beliau sulit makan sebelumnya?”

“Memang kemarin pasien cuma bisa makan sedikit, Sus. Tidak nafsu makan katanya”

“Ohhh, bukan karena sehari-dua hari. Ini bisa terjadi karena penumpukkan dalam seminggu-dua minggu terakhir.”

“Lho, kalau hari sebelum-sebelumnya makannya banyak kok Sus, cuma kemarin saja yang sedikit” jelas sang ibu.

“Wah, kalau begitu mungkin karena sebelumnya sudah kekurangan Bu, dan karena baru masuk ICU hari ini, jadi baru di cek kondisi pasien seluruhnya….”

“Tapi tak perlu khawatir Bu, hanya sedikit kekurangannya. Manusia normal harusnya memiliki kandungan albumin di 3,5. Ini pasien di angka 3,2. Hanya sedikit kurangnya,” lanjut suster itu menjelaskan.

 

Agaknya penjelasan itu sudah sedikit banyak melegakan ibu itu. Perasaan cemas pun sudah berkurang banyak. Tapi tetap saja, ada perasaan yang masih mengganggu ibu itu.

 

“Ya Ibu, ada yang bisa saya bantu lagi?” tanya sang suster, melihat ibu itu sepertinya belum ingin beranjak dari depan ruang ICU.

“Anu, Sus…, saya bisa lihat?” tanya ibu itu sambil menunjuk masuk ke dalam ruang ICU.

“Tunggu sebentar ya Ibu. Limabelas menit lagi jam 5, jam besuk diizinkan.”

“Baik Sus, terimakasih, terimakasih…”.

 

Lima belasmenit menunggu. Lalu jam besuk dibuka. Seluruh korden jendela dibuka, agar para pembesuk dapat melihat dari kaca. Atau jika ingin masuk, harus bergantian satu persatu, dan para pembesuk diwajibkan memakai baju dari rumah sakit. Ibu itu langsung masuk, terburu-buru memakai seragam rumah sakit.

***

 

Dilihatnya seorang lelaki tua terbaring amat sangat lemah, kali ini ada selang dimulutnya. Pagi subuh tadi, sekitar jam 3, rumah sakit menelpon bahwa pasien mendadak sesak. Pasien melolong kesakitan kepada suster yang menjaga, meminta dokter untuk segera datang. Pasokan oksigen berkurang drastis, paru-paru pasien hanya mampu menghirup 50% oksigen. Pihak keluarga segera ditelpon dan ditanya, apa bersedia menggunakan selang yang dimasukkan ke paru-paru melalui mulutnya. Fungsi selang ini akan menghantar oksigen langsung masuk ke paru-paru, sehingga akan menambah pasokan oksigen untuk pernafasan. Selain sudah tak mungkin pasien bisa bicara lagi karena selang tersebut masuk melewati pita suara, tentu saja memasukkan selang lewat kerongkongan akan sangat menyakitkan bagi pasien. Tapi tak ada pilihan lain yang bisa dipilih. Biaya sebesar 35 juta rupiah untuk pemasangan alat dan 10 juta per hari kedepannya untuk biaya sewa dan obat pun ditandatangani tanpa pikir panjang. Dengan segera, pasien dipindahkan ke ruang ICU.

 

Dan sekarang dihadapannya, laki-laki tua tersebut sedang membuka matanya, seperti sedang menerawang, antara sadar dan tidak. Selain selang yang ada di mulutnya, disekelilingnya ada obat infus yang menjalar masuk ke tangan pasien, lalu ada alat pemantau kondisi, bentuknya seperti monitor komputer PC zaman dulu. Dilihatnya ada gambar garis detak jantung, tekanan darah, lalu di bagian bawah layar ada gambar paru-paru dengan angka merah, menunjukkan angka antara 29-32. Ibu itu melihat pasien lain disebelahnya, ada monitor yang sama, namun bagian bawah layar bergambar paru-paru itu menunjukkan angka 18-20, dan berwarna hijau. Meski Ibu itu tak begitu mengerti pembacaan alat medis, namun Ibu itu kurang lebih memahami kondisi mana yang parah.

 

Setelah melihat sekilas sekelilingnya, Ibu tersebut kembali menatap pasien, lalu menyapanya dengan lirih, “Pa, ini In.”

 

Laki-laki tua itu menyadari suara itu, lalu menoleh menghadapnya. Seperti ingin berbicara namun tak bisa, ibu itu langsung memotong “Pa, jangan bicara. Sudah, jangan bicara.” Laki-laki tua itu lalu menghentikan usahanya, mengangguk lemas, lalu memejamkan matanya.

 

Ibu itu langsung banjir air mata, tak kuasa melihat ayahnya tak berdaya seperti itu. Tak bisa bangun juga tak boleh banyak bergerak, dan bahkan tak bisa bicara. Yg bisa dilakukan laki-laki tua itu hanya membuka matanya, melirik sana sini, dan tidur. Makanpun juga sudah tidak bisa, asupan gizi diperoleh dari selang infus. Jika ingin buang air kecil atau besar, langsung buang air di ranjang, dimana nanti dibawahnya ada bak khusus untuk menampung kotorannya.

 

Karena Ibu itu tak ingin ayahnya melihat linangan air mata yang makin lama makin deras, ia segera keluar, lalu menangis sejadi-jadinya di ruang tunggu, berkata sambil terisak, “kasian Papa. Papa tersiksa. Mau bicara, tapi tak bisa. Mulutnya menganga karena ada selang dimulutnya, hanya bisa membuka mata, dan menerawang……. Kasian Papa…. Papa tersiksa….” diulanginya dua kalimat terakhir itu untuk kesekian kalinya, dan ibu itu tak berhenti menangis.

 

35 menit berselang, keempat saudaranya datang. Mereka satu persatu masuk bergantian, dan keluar sambil merengut, bergumam lirih, “bagaimana ini….bagaimana ini…”

 

Setelah jam besuk usai, mereka lalu membuat lingkaran kecil. Bersama, mereka berdoa mengharap kesembuhan papa tercinta…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 × two =

  • Facebook
  • LinkedIn
  • Twitter