Lelah

yessicaolivia post on October 17th, 2012
Posted in Cerpen

Tidak ada kendali. Tidak ada daya.

Habis tenaga.

Tak berkutik, juga tak ada energi.

Hilang semua.

 

Perempuan itu, kehabisan energi. Tidak ada daya juga tenaga untuk melakukan sesuatu. Perempuan itu tak sedang sakit, juga tak cacat. Pikirannya lah yang jenuh, hingga habis sudah sisa kendali otak terhadap tubuh. Dia hanya ingin istirahat dari semua kegiatannya yang padat, jenuh dengan hari-hari yang melelahkan. Dia hanya ingin merebahkan diri sebentar, berharap memiliki kebebasan melepas penat tanpa beban pikiran mendatang.

 

Kata sebentar menjadi tak cukup ketika waktu tak mau berkompromi dan malah berjalan mengejek dengan lebih cepat. Kata sebentar berubah menjadi beberapa waktu. Ya, benar. Perempuan itu berharap memiliki beberapa – tidak – banyak waktu untuk bisa dihabiskan dengan bersantai. Perempuan itu mengeluh kepada seorang yang lain, bahwa tubuh dan pikirannya terasa mengalami penurunan stamina yang drastis, dan hanya ada satu keinginan yang timbul : tak ingin melakukan apa-apa. Seorang yang lain menghela napas panjang melihat sosok perempuan itu, lalu berucap dengan lirih, “kau sudah terlalu lelah”.

 

Telepon berdering, perempuan itu mengangkat telepon dengan malas. Ajakan untuk pergi ke gereja. Benar, sungguh benar, perempuan itu habis akal menemukan alasan untuk tidak datang. Kemudian ditemukannya alasan yang tidak berbohong namun juga tidak begitu benar – itulah yang terjadi ketika seseorang hanya bercerita sebagian, tidak keseluruhan cerita – sehingga akhirnya perempuan itu tetap tinggal di kediamannya sendiri.

 

Diserang oleh beban pikiran akan tanggungjawab kedepan, perempuan itu tak tahan oleh kemalasannya. Diseretnya tubuh dan pikiran untuk kembali berkonsentrasi pada rutinitasnya, mengerjakan tugas yang ada di depan mata. Perempuan itu berusaha mengendalikan seluruh jiwa raganya, mengajaknya untuk kembali ke bumi, kembali menyadari akan beban masyarakat terhadapnya, perlahan membuka laptop dan mulai mengetik. Walau berat, perempuan itu melonggarkan diri, memberi toleransi bagi tubuh untuk tak serta merta kerja keras, namun mengerjakan tugasnya secara perlahan-lahan sambil sedikit bersantai, mencoba mengerjakannya dengan rileks, tak dikejar oleh waktu sebagaimana biasanya.

 

Telepon berdering kali kedua. Datang sebuah undangan makan malam bersama. Untuk kali pertama, perempuan itu dengan hati enggan menolak undangan tersebut, memberikan alasan santun dengan alasan yang klise – sedang sibuk mengerjakan tugas.

 

Usai menutup telepon, perempuan itu menyadari bahwa dirinya juga sudah terlalu lama duduk di depan laptop dan belum santap malam. Dengan gontai, perempuan itu bangkit dari meja laptopnya, bersusah payah membawa tubuhnya ke dapur untuk mengambil makanan yang sudah disiapkan sebelumnya, lalu membawanya kembali ke ruang kerjanya. Perempuan itu lantas makan sambil bekerja kembali – tidak – sesungguhnya, perempuan itu bekerja sambil makan.

 

Perlahan, perempuan itu pun telah kembali berhadapan dengan rutinitasnya, kembali pada tuntutan hidupnya, meski jiwa dan raganya sudah terlalu lelah karenanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

11 − 5 =

  • Facebook
  • LinkedIn
  • Twitter